Portal Forkim

Baca sambil dengar instrumen:

Opini : Pelanggaran Hukum Politik Uang dalam Pemilu

Purnama Suci Sjaihuddin

28-02-2024

Bagikan di WhatsApp
Opini : Pelanggaran Hukum Politik Uang dalam Pemilu

Pemilihan Umum (pemilu) merupakan tiang utama Indonesia sebagai negara yang demokrasi saat akan memilih pemimpin. Pemilu pertama kali dilakukan pada periode Soekarno yakni tahun 1955, yang di mana saat itu dilakukan pemilihan untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada 29 September 1955 dan dilakukan juga pemilihan anggota konstituante pada 25 Desember 1955.

Pelanggaran hukum dalam pemilu merupakan suatu hal yang yang tentunya memberikan dampak negatif kepada negara, di mana pelanggaran pemilu ini dapat merusak moralitas bangsa serta tatanan demokrasi yang ada, sebab pemilu ini dapat dikatakan sebagai proses kompetisi politik yang memperebutkan kursi untuk menjadi pemimpin, sehingga para calon akan berusaha semaksimal mungkin dan tak heran jika pelanggaran pemilu ini terjadi.

Pelanggaran pemilu yang paling marak terjadi, yakni politik uang, di mana politik uang ini sudah menjadi tradisi bagi masyarakat saat akan menjelang pemilu. Politik uang ini dapat mempengaruhi pemilihan suara orang lain, di mana awalnya mereka tidak memilih partai tersebut akan tetapi setelah adanya permainan dalam politik uang maka orang tersebut tentunya akan tertarik untuk memilih partai yang memberikan uang.

Praktek politik uang dalam pemilu sudah lama menjadi isu yang kontroversial, di mana hal tersebut dapat mengancam integritas demokrasi. Pelanggaran hukum terkait politik uang dalam pemilu ini bukan hanya menimbulkan ketidakadilan, akan tetapi juga dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap proses demokratis.

Politik uang dalam pemilu menggambarkan ketidakseimbangan kekuasaan politik yang tentunya merugikan hak untuk memilih secara bebas dan adil. Akar permasalahan ini tidak hanya terletak pada perilaku koruptif para calon dan juga partai politik (parpol), tetapi juga pada struktur sosial dan ekonomi yang memungkinkan terjadinya praktek politik uang semakin berkembang. Hal tersebut terjadi karena adanya ketidaksetaraan ekonomi, kurangnya penegakan hukum yang tegas, dan lemahnya sistem pengawasan.

Pelanggaran hukum politik uang dalam pemilu tidak hanya melanggar etika dalam demokrasi, tetapi juga melanggar undang-undang yang mengatur proses pemilu. Implikasi hukumnya dapat mencakup pencabutan hak pilih, diskualifikasi calon, dan tuntutan pidana bagi pelaku politik uang.

Penegakan hukum terkait politik uang seringkali mendapatkan tantangan sebab para calon maupun parpol sudah semakin kreatif dan memiliki berbagai cara yang licik sehingga mereka tidak dapat dikatakan melanggar aturan pemilu.

Kerumitan pembuktian politik uang disebabkan karena adanya celah regulasi yang menyebabkan pelaku pelanggaran ini dapat lolos dari jeratan undang-undang, kemudian bentuk pemberian calon sulit untuk diidentifikasi sebagai kasus politik uang, dan adanya sistem pemilu yang proposional.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum, pada pasal 515 menyebutkan “setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya dipidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp 36.000.000”.

Pasal 523 ayat (1) mengatakan bahwa “setiap pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau sebagai imbalan kepada peserta kampanye pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam pasal 280 ayat 1 huruf j dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dengan denda paling banyak Rp 24.000.000”.  

Pasal 523 ayat (2) menyatakan bahwa “setiap pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu yang dengan sengaja pada masa tenang menjanjikan atau memberikan imbalan uang secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam pasal 278 ayat (2) dipidana penjara paling lama 4 tahun dan denda paling banyak Rp 48.000.000,00”.

Pasal 523 ayat (3) “setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang kepada pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya dipidana penjara paling lama 3 tahun dengan denda paling banyak Rp 36.000.000,00”.

Pada dasarnya seseorang yang melihat terjadinya praktik politik uang mereka tidak bersedia menjadi saksi karena adanya rasa kekhawatiran yang dapat menyinggung pelaku yang dikenalnya. Maka dari itu langkah yang perlu dilakukan untuk menangani pelanggaran hukum politik uang dalam pemilu, yakni adanya penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku politik uang, peningkatan keterbukaan dan pertanggungjawaban dalam pengelolaan dana kampanye, penguatan lembaga pengawasan pemilu, serta adanya edukasi yang diberikan kepada masyarakat terkait bahaya dari politik uang.

Pelanggaran politik uang dalam pemilu tidak dapat dikatakan sebagai masalah sepele sebab adanya implikasi yang dapat merusak tatanan demokrasi dan keadilan yang ada, sehingga diperlukan upaya yang nyata dalam menangani praktek politik uang agar dapat terlaksananya pemilu yang jujur, bebas, dan adil.

Pencegahan praktek politik uang ini juga menjadi tugas bersama bagi semua pihak yang peduli terhadap masa depan demokrasi dan negara hukum, dengan memperkuat sistem hukum dan memastikan bahwa setiap politik didasarkan pada aspirasi dan kepentingan publik, bukan pada transaksi finansial yang merugikan keadilan demokrasi.

Penulis: Purnama Suci Sjaihuddin

*Tulisan opini ini merupakan tanggung jawab penulis sepenuhnya. Forkim IAIN Parepare tidak bertanggung jawab atas isu hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.
 

Kolom Pencarian

Sekretariat

Observer Room Forkim, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) IAIN Parepare
Jl. Amal Bakti No. 8, Parepare
South Sulawesi, Indonesia 91132