Portal Forkim

Baca sambil dengar instrumen:

Perasaan Perempuan Bukan Kelemahan Melainkan Kekuatan

Nurul Fitra

07-01-2025

Bagikan di WhatsApp
Perasaan Perempuan Bukan Kelemahan Melainkan Kekuatan

Perasaan yang sering dimaknai sebagai sesuatu yang lemah, tidak stabil, bahkan cenderung diremehkan sejatinya jika dipahami lebih mendalam hal inilah yang menjadi salah satu elemen penting yang membentuk kemanusiaan. Perasaan melahirkan empati, pemahaman, dan kemampuan untuk merespons berbagai dinamika sosial secara mendalam.

Kelembutan dan kepekaan yang sering disalahartikan sehingga membentuk stereotip yang menempatkan perempuan dalam bayang-bayang kelemahan terutama dalam peran menjadi seorang pemimpin dengan dalih karena perempuan memimpin menggunakan perasaan. Sebuah paradigma yang selama ini menyingkirkan esensi manusiawi dari kepemimpinan itu sendiri.

Anggapan  bahwa perasaan adalah kelemahan bukan hanya salah, tetapi juga menciptakan dinding ketimpangan yang merampas hak perempuan  untuk menunjukkan bahwa kepemimpinan berbasis empati justru adalah bentuk kekuatan sejati.

Meski dunia terus bergerak menuju modernisasi, bias gender masih dipertahankan dengan cara yang nyaris tidak kentara.

Rasionalitas kerap diagung-agungkan sebagai satu-satunya atribut kepemimpinan, sementara empati dipinggirkan seolah tak memiliki tempat dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini bukan hanya keliru, tetapi juga melemahkan potensi besar yang dapat muncul dari harmoni antara logika dan perasaan.

Sejarah mencatat bahwa perempuan telah lama menjadi pilar perubahan di berbagai lini kehidupan, meskipun kerap berjuang dalam sunyi. Mereka memimpin bukan hanya dengan kekuatan otoritas, tetapi dengan kepekaan yang mampu menjangkau nilai kemanusiaan. Namun, realitanya sebagian orang sering kali menutup mata terhadap kontribusi ini.

"Pertanyaannya, apakah kita tetap membisu saat dunia mengerdilkan potensi perempuan hanya karena mereka menggunakan perasaan saat memimpin?

Kini, saatnya kita membuka ruang yang lebih besar, bukan hanya untuk melihat, tetapi juga untuk merayakan keberanian dan kebijaksanaan perempuan dalam memimpin. Kita membawa misi untuk memperjuangkan esensi dari kepemimpinan yag sejati.

Kepekaan emosional menjadi senjata yang efektif dalam menyelesaikan konflik dan merancang kebijakan yang lebih inklusif. Perasaan bukanlah cerminan kelemahan atau sekadar bentuk melankolia, tetapi kekuatan luar biasa untuk memahami, merangkul, dan mengambil keputusan yang berakar pada nilai-nilai kemanusiaan.

Dengan perasaan, pemimpin tidak hanya menciptakan solusi, tetapi juga memastikan bahwa setiap kebijakan mampu menyentuh dan memajukan semua pihak tanpa terkecuali dan tanpa intimidasi yang berlandaskan nilai rasionalitas semata.

Kebijakan kuota 30% keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif adalah salah satu langkah awal yang baik. Sayangnya, pelaksanaan kebijakan kuota ini kerap terjebak pada pendekatan administratif semata, mengabaikan esensi utamanya untuk memberi ruang bagi perempuan agar benar-benar berkontribusi dalam pengambilan keputusan.

Alih-alih dimaknai sebagai pengakuan atas kemampuan perempuan, kuota ini sering dijadikan alasan untuk mempertanyakan legitimasi mereka dalam memimpin. Padahal, keterwakilan perempuan bukan soal angka, melainkan soal membawa perspektif yang lebih inklusif dan empatik ke dalam kebijakan publik. Jika kuota ini hanya sekedar formalitas, maka potensi besar yang dimiliki perempuan untuk menciptakan perubahan akan terus terabaikan.

"Perasaan adalah pengeras suara bagi suara-suara kecil yang sering kali terabaikan." Dalam dunia kepemimpinan, empati yang lahir dari perasaan mampu menangkap jeritan mereka yang tidak terdengar di ruang-ruang kekuasaan. Perempuan, dengan kepekaan emosionalnya, menjadi jembatan yang menghubungkan keputusan besar dengan realitas kecil yang sering luput dari perhatian.

Kepemimpinan yang melibatkan hati bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan yang memastikan bahwa setiap suara, sekecil apapun, memiliki tempat dalam arus perubahan. Dengan perasaan, perempuan tidak hanya memimpin, tetapi juga membawa harapan bagi mereka yang selama ini dikesampingkan."

Jika kita menginginkan kepemimpinan yang lebih manusiawi, maka perempuan dengan segala kepekaannya harus diberikan ruang yang lebih luas untuk memimpin. Kepemimpinan yang hanya mengandalkan logika tanpa sentuhan perasaan adalah kepemimpinan yang kehilangan makna, karena sejatinya kekuatan pemimpin terletak pada kemampuannya memahami, merangkul, dan memberi arti pada suara-suara kecil yang sering kali terabaikan.

Kepemimpinan yang empatik, manusiawi, dan inklusif adalah kunci untuk menciptakan bangsa yang tidak hanya kuat secara struktural, tetapi juga adil dalam menjawab kebutuhan seluruh elemen masyarakat. Karena itu inilah saatnya kita  merangkul perspektif baru dalam kepemimpinan, di mana perasaan menjadi fondasi untuk membangun masa depan yang lebih baik.

Perempuan bukanlah sosok yang pantas diremehkan atau dilabeli sebagai pihak yang lemah. Kelembutan, kepekaan, dan empati yang sering dianggap sebagai kelemahan justru merupakan kekuatan yang mampu menghadirkan kepemimpinan yang lebih manusiawi dan inklusif. Perempuan memiliki kemampuan, keberanian, dan kecerdasan yang sama dengan laki-laki untuk memimpin, mengambil keputusan, dan membawa perubahan.

Melalui bukti nyata dalam berbagai peran strategis, perempuan telah menunjukkan bahwa mereka mampu memikul tanggung jawab besar dengan keunggulan tersendiri. Kepemimpinan bukanlah soal jenis kelamin, melainkan soal kapasitas, visi, dan keberanian untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik.

Sehingga perasaan bukanlah kelemahan perempuan, melainkan kekuatan dalam kepemimpinan dan pengambilan keputusan. Dengan kepekaan dan empati yang dimiliki, perempuan mampu menciptakan harmoni, memahami kebutuhan banyak pihak, dan membawa perubahan yang lebih inklusif.

Kepemimpinan yang lahir dari perpaduan antara rasionalitas dan perasaan adalah kekuatan sejati yang mampu mengubah dunia menjadi tempat yang lebih adil dan manusiawi.

"Hidup Perempuan! Hidup Kepemimpinan yang Humanis!"

Kolom Pencarian

Sekretariat

Observer Room Forkim, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) IAIN Parepare
Jl. Amal Bakti No. 8, Parepare
South Sulawesi, Indonesia 91132