Portal Forkim

Baca sambil dengar instrumen:

Opini: Allah Menerima Mata Uang Palsu

Ismawatun Nur Hasanah

25-05-2023

Bagikan di WhatsApp
Opini: Allah Menerima Mata Uang Palsu

Ibarat penjual cabai bertransaksi dengan pembeli dan menerima lembaran uang seratus ribu palsu. Menurut kalian, apakah uang palsu tersebut akan di terima karena nilainya yang besar? Kita semua tentu akan menjawab, tidak. 

Meski harga cabai yang dibeli hanya kisaran lima ribu, akan tetapi penjual lebih memilih uang pas lima ribu yang asli, dibandingkan lembaran uang seratus ribu palsu.

Mengapa demikian? Tentu yang dilihat di sini bukan dari besar jumlah atau nilainya, akan tetapi kualitas uang tersebut asli atau tidak asli.

Bagaimana jika hal ini diibaratkan transaksi antara seorang hamba dengan penciptanya? Hal ini mungkin akan membuat kita bertanya-tanya, transaksi seperti apa yang kita lakukan dengan Tuhan?

Tanpa kita sadari kita telah melakukannya hampir setiap hari atau bahkan saat kita membutuhkannya di setiap saat. Transaksi tersebut terjadi antara permohonan dan pengabulan. Hal pertama yang akal kita tangkap adalah doa.

Banyak doa yang kita panjatkan di setiap penghujung salat atau di luar salat, tapi sudahkan kita yakin bahwa doa tersebut sepenuhnya berkualitas untuk sampai ke Sang Pencipta?

Terkadang kita banyak merapalkan doa yang kita hafalkan kata-perkatanya, susunan-susunannya, doa mana dulu yang akan dimohonkan, hingga doa tersebut rapi dan indah saat diperdengarkan.

Sayangnya, karena sangat hafalnya kita akan doa-doa yang indah tersusun rapi tersebut justru menjadikan kita jarang meresapi makna dari apa yang dipinta.

Terkadang puji-pujian yang kita hantarkan kepada Allah Swt. tak lagi dapat menyetuh hati untuk terkoneksi dengan Sang pemilik nama. Doa yang dipinta terus-menurus tak lagi sama rasanya saat pertama kali kita memintanya.

Jika hal ini sastra puisi, mungkin seperti seseorang yang membaca puisi tanpa ekspresi yang mana tidak dapat menyetuh hati audiencenya.

Mau se-ekspresif apapun isi puisi yang kita susun bait demi baitnya, akan menjadi hambar jika mana tanpa ekspresi saat membaca atau mengungkapkannya.

Mungkin lisan kita memuji, “Ya Allah, Engkaulah yang Maha Pengabul”, tapi akal kita belum sampai untuk mengingat kepada kebesaran Sang Pencipta dalam mengabulkan doa-doa kecil sampai yang menurut akal kita itu nihil untuk dikabulkan.

Hal inilah yang menjadi salah satu tolak ukur atas kualitas doa-doa yang kita panjatkan setiap saatnya. 

Lantas, apakah tulisan ini sudah cukup mengingatkan kita akan doa-doa yang telah kita rapalkan atau panjatkan sebelum-sebelumnya? Sudah berkualitaskah doa-doa kita sebelumnya, hingga Sang Pencipta memiliki alasan untuk mengabulkan doa tersebut.

Jika doa-doa kita belum berkualitas, apakah Sang Pencipta tidak menerima atau bahkan tidak mengabulkannya?

Pertanyaan tersebut telah dijawab Allah langsung di dalam al-Qur’an:

"...Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku agar mereka memperoleh kebenaran."

Dalam penggalan surah al-Baqarah ayat 186, Allah akan mengabulkan doa bagi setiap orang-orang yang memohon kepada-Nya tanpa melalaikan perintah-Nya.

Perintah yang dimaksud di sini adalah ibadah-ibadah yang sudah menjadi kewajiban seorang hamba kepada-Nya. Hal ini juga termasuk transaksi antara ibadah dan pengabulan doa.

Satu kisah tokoh besar Islam dari salah satu shahabat, yaitu Sayyidina Amirul Mu’minin Umar bin Khattab ra. pernah berkata, “aku tidak pernah khawatir apakah doaku akan dikabulkan atau tidak, tapi yang lebih aku khawatirkan adalah aku tidak diberi hidayah untuk terus berdoa.”

Umar bin Khattab ra. tidak pernah takut ketika Allah akan atau tidak akan mengabulkan doa beliau, akan tetapi yang beliau takutkan ketika beliau tidak diberi hidayah untuk terus berdoa. 

Dari kisah beliau kita bisa menjadikannya inspirasi untuk terus berdoa kepada Allah, meskipun hati kita belum bisa meresapi apa yang kita pinta tersebut. Selama kita memiliki hidayah untuk terus berdoa kepada-Nya, maka berdoalah.

Tidak ada doa yang tidak didengar oleh-Nya. Teruslah berdoa meski tenggorokan kering meronta.

Teruslah berdoa meski tampungan air mata gersang. Teruslah berdoa meski hati menafikan bibir. Teruslah berdoa meski ucapan tak sampai untuk dicapai akal.

Teruslah berdoa karena sesungguhnya Dia pemilik sifat al-Mujib. Teruslah berdoa karena sesungguhnya Dia menerima mata uang palsu kita. 

Arti kata bahwa Allah menerima mata uang palsu ialah Allah itu mendengar dan menerima setiap doa yang hamba-Nya panjatkan, meski hati atau akal hamba-Nya belum bisa terkoneksi untuk mengingat kepada-Nya. 

Bisakah kita mengingat sudah berapa banyak doa yang kita minta dan dikabulkan oleh Allah? Pasti lebih banyak doa-doa kita yang Allah kabulkan. Namun, tidak dapat dipungkiri pula bahwa ada doa kita yang belum dikabulkan.

Mungkin setelah diingat-ingat ternyata doa kita itu masih kurang berkualitas untuk langsung dikabulkan. Berlawanan dari hal tersebut, bagaimana jika kita merasa bahwa doa yang kita panjatkan sudah berkualitas?

Coba kita ingat-ingat kembali, apakah saat kita berdoa hati kita bergetar merasakan permohonan kita sendiri? Apakah saat kita berdoa akal kita sudah terkoneksi untuk sampai kepada-Nya?

Jika sudah, jangan pernah berputus asa atau berpikiran untuk berhenti dalam berdoa. Meski kita masih sering merasa doa kita terasa hambar, tapi ingat bahwa Allah akan tetap menerima uang palsu kita.

Allah akan tetap mendengar dan menerima doa-doa kita, lalu mengabulkannya secara langsung atau menunggu waktu untuk kita siap menerima atas pengabulan doa tersebut.

Sungguh Allah senang sekali mendengar puji-pujian yang kita hantarkan di setiap awal doa yang kita panjatkan.

Kolom Pencarian

Sekretariat

Observer Room Forkim, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) IAIN Parepare
Jl. Amal Bakti No. 8, Parepare
South Sulawesi, Indonesia 91132