Portal Forkim

Baca sambil dengar instrumen:

Opini: Blamming The Victim: Implikasi Cyber Harrasment

Velocity

22-07-2023

Bagikan di WhatsApp
Opini: Blamming The Victim: Implikasi Cyber Harrasment

Salah satu indikasi bahwa suatu peradaban telah mengalami modernisasi adalah kemajuan teknologi informasi. Jejaring sosial atau aplikasi muncul seiring dengan kemajuan teknologi. Dan salah satu dari banyak efek berbahaya dari media sosialsosial adalah pelecehan seksual berbasis online. 

Banyak profil di media sosial yang tidak berdasarkan identitas asli sehingga memungkinkan terjadinya pelecehan secara online. Karena mereka percaya bahwa tidak ada orang lain yang akan mengetahui tindakannya selain dirinya sendiri. Pelaku pelecehan online, bebas bertindak sesuka mereka. Pelaku bebas mengkritik seseorang, mengunduh gambar, dan memposting ulang konten korban.

Kita dapat melihat kasus Venna Meinda, Ferry Irawan mengancam menyebarkan video syur Venna karena dirinya menolak saat diajak berhubungan badan oleh Ferry (Suara.com).

Objektifikasi tubuh perempuan yang dulu di dunia offline, kini beralih ke online. Ini mempengaruhi perempuan, yang harus selalu berhati-hati. Korban pelecehan atau kekerasan seksual secara offline seringkali dibuat terpuruk karena penampilan, tutur kata, atau tingkah laku (victim blaming).

Pelecehan atau kekerasan seksual dapat terjadi kapan saja, di mana saja, dan bahkan tidak disangka-sangka dan tidak kita duga sebelumnya.

Bintang menyebutkan, berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional Tahun 2021 yang dilakukan KPPPA dan BPS, terdapat 8,7% perempuan yang berumur 15-64 tahun telah mengalami pelecehan atau kekerasan seksual. Juga sebanyak 3,3% perempuan mengalami pelecehan atau kekerasan seksual secara online (cyber harrasment). 

Penyebaran konten non-konsensual melibatkan kekerasan seksual, terutama ditujukan pada perempuan, di lingkungan online. Kejahatan balas dendam porno (revenge porn) berkembang pesat di seluruh dunia karena teknologi. Karena meningkatnya penggunaan dan aksesibilitas media sosial, ini adalah masalah yang paling banyak dialami oleh remaja dan dewasa muda.

Bagi para korban, kegiatan ini dapat berdampak buruk bagi kesehatan mental mereka. Efek psikologis dalam jangka panjang dari gambar atau video yang tersebar, yang dapat menghantui korban selama hidup mereka.

Penghinaan terhadap korban mungkin mengalami stres dan berbagai masalah kesehatan mental, seperti depresi, keterpisahan sosial, dan merasa tidak berharga serta dipojokkan.

Perilaku Blaming The Victim (menyalahkan korban) berpengaruh pada korban cyber harrasment (pelecehan seksual secara online). Kekerasan sekaligus penyalahan akan dialami korban. Victim Blaming mengacu pada praktik menyalahkan korban atas kesalahan atau dituntut pertanggungjawaban seluruhnya atau sebagian atas kerugian yang dideritanya.

Konsep blaming the victim, perempuan sebagai korban justru disalahkan dan dipojokkan, melalui kata-kata atau kalimat yang dipertanyakan kepada korban. Perempuan mengalami diskriminasi relasi sosial pada interaksi sosial. Pelaku biasa dilakukan oleh seorang laki-laki dengan menyebarkan foto atau video pasangannya dengan tujuan dapat mengontrol atau menguasai sepenuhnya korban.

Ketidakadilan dan diskriminasi kaum perempuan di Indonesia yang menggunakan media untuk mengkriminalisasi perempuan terkait kekerasan, akan menyudutkan posisi korban dengan melakukan penghakiman terhadap moral perempuan. Sejauh ini kesalahan selalu di pihakkan pada korban, yang pokok permasalahannya adalah wewenang korban yang telah dicabut.

Saat seoranng perempuan yang telah menjadi korban pelecehan atau kekerasan seksual, bukan mengenai proses hukum yang akan di fokuskan, tetapi justru orang-orang akan terus menyalahkan korban pelecehan atau kekerasan seksual: “Kenapa enggak lapor? Kenapa diam saja”? begitu kata Zuma.

Seperti yang dikutip ABC dari Asumsi.co. Berdasarkan fakta yang ada, para korban kekerasan seksual tersebut dibebankan oleh bukti-bukti yang ada. Faktor keluarga dan juga lingkungan seperti reaksi victim blaming, persekusi, pemberitaan di media sosial yang mengekploitasi informasi pribadi, sementara lingkungan membela pelaku.

Sebagai negara hukum, Indoensia telah mengatur dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual Pasa 4 ayat (1) yang mengatur tentang kekerasan seksual berbasis tekonologi. Hal ini harus diprioritaskan melalui instrumen hukum hukum untuk melindungi korban, diperlukan terobosan atas keadilan dan kesetaraan dalam menangani kasus seperti ini.

Tingginya penggunaan ruang digital, semakin mendesak untuk melakukan sosialisai kepada masyarakat terkait keamanan digital dan perlindungan privasi.

Di Kota Parepare sendiri aktivis perempuan atau lembaga-lembaga perempuan telah membentuk “Ruang Aman Perempuan” yang dapat mengadvokasi perempuan-perempuan yang menjadi kekerasan seksual. Pentingnya dibuat suatu lembaga seperti ruang aman tersebut yang diperuntukkan bagi para korban cyber harassment tersebut untuk mendapatkan keadilan atas kasus yang dialaminya. (frz/jml) 

Kolom Pencarian

Sekretariat

Observer Room Forkim, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) IAIN Parepare
Jl. Amal Bakti No. 8, Parepare
South Sulawesi, Indonesia 91132